PPN & PPn BM
(PAJAK ATAS TRANSAKSI PENYERAHAN DAN PEROLEHAN BARANG KENA PAJAK DAN JASA KENA PAJAK)
1. LATAR BELAKANG UU
Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 sebagai pengganti dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pjak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah. Ini merupakan perubahan ketiga atas undang-undang PPN tersebut. Sasaran yang ingin diwujudkan dalam pelaksanaan perubahan UU PPN ini adalah menciptakan
sistem perpajakan yang lebih adil, sederhana, dan memberikan kepastian
hukum bagi masyarakat serta dapat mengamankan dan meningkatkan
penerimaan negara.
Adapun pokok-pokok perubahan yang dilakukan antara lain pada :
- Objek PPN
- Bukan Objek PPN
- Subjek PPN
- Retur PPN
- Retur PPN atas Penyerahan JKP
- PPnBM
- Restitusi
- Deemed Pajak Masukan
- Pengkreditan Pajak Masukan
- Pemusatan Tempat PPN terutang
- Faktur Pajak
- Saat Penyetoran dan Pelaporan PPN
- Fasilitas Perpajakan
- Tanggung Renteng
- Saat Terutang untuk Transaksi Leasing
2. PPN (PAJAK PERTAMBAHAN NILAI/VALUE ADDED TAX)
Pajak
Pertambahan Nilai atau yang lazim dikenal dengan PPN adalah pajak atas
komsumsi Barang Kena Pajak (BKP) atau penggunaan Jasa Kena Pajak (JKP)
di dalam negeri. Bersamaan
dengan Program Reformasi Perpajakan Nasional tahun 1983, Undang-Undang
Pajak Penjualan 1951 diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 yang dinamakan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984. Pajak ini termasuk ke dalam kelompok Non Cumulative Multi Stage Sales Tax. Undang-Undang ini berlaku efektif sejak tanggal 1 April 1985. Sifat non kumulatif dari PPN terletak pada mekanisme pemungutannya yang dikenakan pada Nilai Tambah (Value Added)
dari Barang dan Jasa Kena Pajak. Dalam perjalanannya, pada akhir tahun
1994 diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1995 yang telah mengalami perubahan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 yang mulai berlaku sejak 1 April 2010.
3. KARAKTERISTIK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DI INDONESIA
Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia mempunyai bebarapa karakter khusus yaitu :
1. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Tidak Langsung
Dilihat
dari sudut pandang ekonomi, beban pajak dialihkan kepada pihak lain,
yaitu pihak yang akan mengkonsumsi barang dan/atau jasa kena pajak.
Dari
sudut pandang yuridis, tanggung jawab pembayaran pajak kepada kas
negara tidak berada di tangan pihak yang memikul beban pajak, akan
tetapi pada Pengusaha Kena Pajak yang bertindak selaku penjual Barang
Kena Pajak atau pengusaha Jasa Kena Pajak.
2. Pajak Obyektif
Yang
dimaksud dengan pajak obyektif adalah suatu jenis pajak yang saat
timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor obyektif, yaitu adanya taAtbestand (suatu keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang di sebut juga dengan nama obyek pajak).
3. Multi Stage Tax
Setiap penyerahan barang yang menjadi obyek PPN mulai dari tingkat pabrikan (manufacture) kemudian di tingkat pedagang besar (wholesaler) dalam berbagai bentuk atau nama sampai dengan tingkat pedagang pengecer (retailer) dikenakan PPN.
- Mekanisme Pemungutan PPN menggunakan Faktur Pajak
Sebagai konsekuensi penggunaan credit methode
untuk menghitung PPN yang terutang maka setiap penyerahan BKP/JKP,
Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan diwajibkan untuk membuat Faktur
Pajak sebagai bukti pemungutan pajak. Berdasarkan Faktur Pajak inilah
akan di hitung jumlah pajak terutang dalam satu masa pajak, yang wajib
di bayar ke kas negara.
- PPN adalah Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri
Sebagai pajak atas konsumsi sebenarnya tujuan akhir PPN adalah mengenakan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi (a tax on consumtion expenditure)
baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun oleh badan, baik badan
swasta maupun badan pemerintah dalam bentuk belanja barang atau jasa
yang dibebankan pada anggaran belanja negara.
- Bersifat Netral
Netralisasi PPN di bentuk oleh 2 faktor, yaitu :
a) PPN dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa.
b) Dalam pemungutannya, PPN menganut prinsip tempat tujuan (destination principle) dan prinsip tempat asal (origin principle).
Prinsip
tempat asal mengandung pengertian bahwa PPN dipungut di tempat asal
barang atau jasa yang akan dikonsumsi. Sedangkan berdasarkan prinsip
tempat tujuan, PPN dipungut ditempat barang atau jasa dikonsumsi. Kedua
prinsip ini sangat besar pengaruhnya terhadap kedudukan PPN dalam
perdagangan internasional.
- Tidak menimbulkan dampak pengenaan pajak berganda
Kemungkinan
pengenaan pajak berganda seperti yang dialami dalam era UU Pajak
Penjualan (PPn) 1951 dapat dihindari sebanyak mungkin karena PPN di
pungut atas nilai tambah saja (value added).
Pengusaha
|
aktivitas
|
Nilai tambahan
|
Hara jual
|
PPN 10 %
|
Setor kas negara
|
Harga yang dibayar
|
Industri benang
|
Menyerahkan Benang
|
1000
|
1000
|
100
|
100
| |
Industri tekstil
|
Membeli benang
|
-
|
-
|
100
|
100
|
1000+100=1100
|
|
Menyerahkan tekstil
|
400
|
1000+400=1400
|
140
|
140-100=40
| |
Industri garmen
|
Membeli tekstil
|
-
|
-
|
-
|
-
|
1400+140=1540
|
|
Menyerahkan garmen
|
350
|
1400+350=1750
|
175
|
175-140=35
|
-
|
Pedagang besar
|
Beli garmen
|
-
|
-
|
-
|
-
|
1750+175=1925
|
|
Menyerahkan garmen
|
300
|
1750+300=2050
|
205
|
205-175=30
| |
Pedagang eceran
|
Membeli garmen
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2050+205=2255
|
|
Menyerahkan garmen
|
250
|
2050+250=2300
|
230
|
230-205=25
|
-
|
Konsumen
|
Membeli garmen
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2300+230=2530
|
PPN
wajib dipungut pada setiap mata rantai penjualan oleh pengusaha kena
pajak lalu menyetorkannya ke kas Negara dengan menggunakan credit
method, yaitu dengan mengurangi jumlah PPN Keluaran dengan PPN Masukan
dan selisihnya merupakan pajak terutang yang harus disetor oleh
pengusaha kena pajak . PPN tidak akan menimbulkan pengenaan pajak
berganda karena pengenaannya hanya terhadap pertambahan nilai yang
timbul pada setiap penyerahan barang atau jasa pada jalur perusahaan
berikutnya.
Tarif PPN
adalah flat yaitu 10%, ini dimaksudkan agar pemungutannya menjadi
sederhana dan tidak memerlukan daftar penggolongan atas Barang Kena
Pajak ataupun Jasa Kena Pajak. Atas penyerahan BKP yang bersifat mewah
selain dikenakan PPN juga dikenakan PPn BM yang dilandaskan oleh prinsip
keadilan atas tingkat kemampuan yang berbeda-beda dimasyarakat juga
dimaksudkan untuk mengurangi pola konsumsi tinggi yang tidak produktif
pada warga Negara.
ditulis : Agus Priyambodo (Buku Pajak SMK)
0 komentar:
Post a Comment